Kasus ini saya dan orang-orang lain alami pada
setiap pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan. Ketika itu dompet
saya hilang bersama isi-isinya, salah satunya terdapat KTP. Peristiwa ini
terjadi pada saya semester dua berkuliah di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, tepatnya Departemen Sosiologi. Dalam hal ini, saya
harus membuatnya kembali di Kelurahan saya, yaitu Tugu Selatan di Jakarta
Utara. Sebelumnya saya membuat surat kehilangan di PLK UI yang berada di Pondok
Cina, dikenal dengan Gedung Biru.
Kemudian, saya pulang ke rumah (Jakut) untuk
mengurus ini pada tingkatan RT dan RW. Setelah itu, saya untuk pertama kalinya
ke kelurahan Tugu Selatan. Ketika pertama kali dibuat dibantu prosesnya oleh
orang tua, tetapi sekarang saya mengurusnya sendiri. Datanglah saya ke
kelurahan untuk melakukan proses pembuatan KTP saya yang telah hilang.
Sesampainya saya di kelurahan, ada hal yang menarik
di sana, tepatnya di depan loket pembuatan KTP maupun KK (Kartu Keluarga).
Terdapat tulisan dengan jelas tertera di kaca, yaitu “Tidak menerima uang
pembuatan KTP/KK). Sebenarnya saya juga tidak heran ketika memang pembuatan
KTP/KK memang gratis dari pemerintah, secara pegawai negeri sipil sudah digaji
oleh pemerintah daerah sesuai golongannya. Apalagi ketika sudah diberlakukan
mesin pencetak KTP di setiap kelurahan, pembuatan KTP bisa lebih cepat dari
sebelum-sebelumnya yang dahulu di setiap kelurahan belum terdapat mesin
pencetak.
Saya mendapat giliran untuk mengurus KTP sesuai
urutan yang diberikan. Saya memberikan surat kehilangan dari PLK dan membawa KK
juga sebagai bukti warga kelurahan Tugu Selatan. Ketika sudah selesai, saya
dibilang oleh petugas untuk datang dua pekan lagi untuk mengambil KTP. Ketika
pulang “saya bertanya-tanya, makanya tinggal cetak aja ya, kan ada mesin
cetaknya” nanya diri sendiri.
Saya sampai di rumah dan ditanya oleh orang tua
kapan jadi KTP nya, saya bilang saja, “dua pekan, Mak”. Orang tua saya pun
terkejut, kenapa lama sekali jadinya, seperti tidak biasanya. “Emang ary gak
bayar”tanya mama saya. Gak bayar Mak, kan ada tulisannya gratis”jawab saya.
“yee biar cepet selesai bayar aja”sambut mama saya. Besok harinya mama saya ke
kelurahan bayar dua puluh ribu kepada
petugas pembuat KTP. Pada hari itu juga, saya disuruh ke kelurahan untuk
mengambil KTP yang ternyata sudah jadi.
Sumber:
Pengalaman penulis sendiri
Pada kasus ini dalam perspektif sosiologis, tokoh
sosiologi dari Asia, dan pemikir Alatas mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi (Alatas, 1990). Kepercayaan
yang disalahgunaan dalam korupsi diletakkan dalam konteks pemisahan barang publik dan barang privat.
Terdapat tiga bentuk korupsi menurut Alatas yaitu pemerasan, nepotisme, dan penyogokan.
Bentuk korupsi yang dibicarakan berkaitan dengan wewenang dalam mengelola
barang publik. Karena adanya relativisme dalam pengertian norma, Alatas
mendefinisikan korupsi berdasarkan substansi hubungan sosial yaitu
penyalahgunaan kepercayaan. Alatas
memandang persoalan korupsi sebagai persoalan relasi kekuasaan dan hal ini
harus dipahami menurut konteks dimana terjadinya korupsi.
Dalam kasus ini terjadi penyalahgunaan kepercayaan
dari pemerintah daerah kepada kelurahan-kelurahan, tepatnya kelurahan Tugu
Selatan. Seharusnya dalam pembuatan KTP dilayani secara cuma-cuma, tetapi masih
ada penyogokan agar proses pembuatan KTP bisa berjalan dengan cepat. Dalam pandangan Alatas, termasuk dalam
penyogokan sebagai pelicin pembuatan KTP. Relasi kekuasaan petugas pembuat KTP
merambat pada pejabat tinggi kelurahan karena dalam pembuatan ini diizinkan
oleh petinggi yang sebagai timbal baliknya bisa berbagai hasil penyogokan
tersebut. Jika dihitung secara matematis tiap pembuatan KTP diminta Rp20ribu
per orang, cukup signifikan pendapatannya. Misalnya satu kelurahan
terdapat dua puluh lima ribu dikalikan
Rp20ribu, pendapatan yang akan diraih sebanyak Rp500juta. Dalam hal ini petugas
KTP tidak menjalankan amanahnya secara baik dan ia menggunakan posisinya yang
strategis sebagai penaggung jawab pembuatan KTP untuk melakukan korupsi.
Kemudian, pendekatan organisasi tentang korupsi
melihat bahwa pelanggaran norma sudah merupakan bagian dari proses berjalannya
organisasi. Para anggota dalam organisasi justru mendapat semacam balasan
positif dengan ikut melakukan pelanggaran, setidaknya dianggap melakukan
sesuatu dengan cara yang “seharusnya”. Jika tidak mengikuti tata cara itu –
yang bisa berupa aturan formal, informal, atau gabungan keduanya – anggota akan
mendapat reaksi negatif. Ini juga yang saya lihat dalam pembuatan KTP. Warga
kelurahan Tugu Selatan sudah menjadi rahasia umum dalam pembuatan KTP “harus”
memberikan uang pelicin agar bisa diproses dengan cepat. Bagi keluarga yang
tidak membayar akan mendapatkan respon negatif dari petugas dan juga warga lain
akan memberikan masukan untuk membayar dalam pembuatan KTP.
Dalam perspektif kultural, bisa menguatkan analisis
dimana masyarakat memiliki tindakan yang sebenarnya negatif, tetapi menjadi
kebiasaan dan rahasia umum untuk membayar pembuatan KTP sebesar Rp20ribu. Makna
pemberian bagi masyarakat merupakan bentuk terima kasih karena petugas bisa
mengerjakan pembuatan KTP dengan cepat.
Pemberiaan yang menjadi kebiasaan ini tidak membuat masyarakat mengeluhkan
kinerja petugas, malah dikhawatirkan membudaya dan mengakar. Padahal pemberian
kepada petugas menjadikan dirinya meneruskan budaya tersebut dan tidak bisa
dihilangkan dalam jangka panjang. Ini yang menjadi makna bagi masyarakat yang
memperbolehkan tindakan petugas KTP meminta bayaran pembuatan KTP. Dari
pemaknaan masyarakat yang seperti itu membuat petugas kelurahan Tugu Selatan
terus melakukan hal yang dalam menyalahgunaan posisinya untuk memperkaya
dirinya dan orang didekatnya.
Sumber referensi:
Buku
Sosiologi Korupsi: Rekonstruksi Pendekatan Organisational Instiutionalis,
Meuthia Ganie-Rochman dan Rochman Achwan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar