Cari Blog Ini

Minggu, 11 Mei 2014

Analisa Kasus Korupsi Pembuatan KTP

Kasus ini saya dan orang-orang lain alami pada setiap pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan. Ketika itu dompet saya hilang bersama isi-isinya, salah satunya terdapat KTP. Peristiwa ini terjadi pada saya semester dua berkuliah di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tepatnya Departemen Sosiologi. Dalam hal ini, saya harus membuatnya kembali di Kelurahan saya, yaitu Tugu Selatan di Jakarta Utara. Sebelumnya saya membuat surat kehilangan di PLK UI yang berada di Pondok Cina, dikenal dengan Gedung Biru.
Kemudian, saya pulang ke rumah (Jakut) untuk mengurus ini pada tingkatan RT dan RW. Setelah itu, saya untuk pertama kalinya ke kelurahan Tugu Selatan. Ketika pertama kali dibuat dibantu prosesnya oleh orang tua, tetapi sekarang saya mengurusnya sendiri. Datanglah saya ke kelurahan untuk melakukan proses pembuatan KTP saya yang telah hilang.
Sesampainya saya di kelurahan, ada hal yang menarik di sana, tepatnya di depan loket pembuatan KTP maupun KK (Kartu Keluarga). Terdapat tulisan dengan jelas tertera di kaca, yaitu “Tidak menerima uang pembuatan KTP/KK). Sebenarnya saya juga tidak heran ketika memang pembuatan KTP/KK memang gratis dari pemerintah, secara pegawai negeri sipil sudah digaji oleh pemerintah daerah sesuai golongannya. Apalagi ketika sudah diberlakukan mesin pencetak KTP di setiap kelurahan, pembuatan KTP bisa lebih cepat dari sebelum-sebelumnya yang dahulu di setiap kelurahan belum terdapat mesin pencetak.
Saya mendapat giliran untuk mengurus KTP sesuai urutan yang diberikan. Saya memberikan surat kehilangan dari PLK dan membawa KK juga sebagai bukti warga kelurahan Tugu Selatan. Ketika sudah selesai, saya dibilang oleh petugas untuk datang dua pekan lagi untuk mengambil KTP. Ketika pulang “saya bertanya-tanya, makanya tinggal cetak aja ya, kan ada mesin cetaknya” nanya diri sendiri.
Saya sampai di rumah dan ditanya oleh orang tua kapan jadi KTP nya, saya bilang saja, “dua pekan, Mak”. Orang tua saya pun terkejut, kenapa lama sekali jadinya, seperti tidak biasanya. “Emang ary gak bayar”tanya mama saya. Gak bayar Mak, kan ada tulisannya gratis”jawab saya. “yee biar cepet selesai bayar aja”sambut mama saya. Besok harinya mama saya ke kelurahan bayar  dua puluh ribu kepada petugas pembuat KTP. Pada hari itu juga, saya disuruh ke kelurahan untuk mengambil KTP yang ternyata sudah jadi.
Sumber: Pengalaman penulis sendiri

Pada kasus ini dalam perspektif sosiologis, tokoh sosiologi dari Asia, dan pemikir Alatas mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi (Alatas, 1990). Kepercayaan yang disalahgunaan dalam korupsi diletakkan dalam konteks  pemisahan barang publik dan barang privat. Terdapat tiga bentuk korupsi menurut Alatas yaitu pemerasan, nepotisme, dan penyogokan. Bentuk korupsi yang dibicarakan berkaitan dengan wewenang dalam mengelola barang publik. Karena adanya relativisme dalam pengertian norma, Alatas mendefinisikan korupsi berdasarkan substansi hubungan sosial yaitu penyalahgunaan kepercayaan.  Alatas memandang persoalan korupsi sebagai persoalan relasi kekuasaan dan hal ini harus dipahami menurut konteks dimana terjadinya korupsi.
Dalam kasus ini terjadi penyalahgunaan kepercayaan dari pemerintah daerah kepada kelurahan-kelurahan, tepatnya kelurahan Tugu Selatan. Seharusnya dalam pembuatan KTP dilayani secara cuma-cuma, tetapi masih ada penyogokan agar proses pembuatan KTP bisa berjalan dengan cepat.  Dalam pandangan Alatas, termasuk dalam penyogokan sebagai pelicin pembuatan KTP. Relasi kekuasaan petugas pembuat KTP merambat pada pejabat tinggi kelurahan karena dalam pembuatan ini diizinkan oleh petinggi yang sebagai timbal baliknya bisa berbagai hasil penyogokan tersebut. Jika dihitung secara matematis tiap pembuatan KTP diminta Rp20ribu per orang, cukup signifikan pendapatannya. Misalnya satu kelurahan terdapat  dua puluh lima ribu dikalikan Rp20ribu, pendapatan yang akan diraih sebanyak Rp500juta. Dalam hal ini petugas KTP tidak menjalankan amanahnya secara baik dan ia menggunakan posisinya yang strategis sebagai penaggung jawab pembuatan KTP untuk melakukan korupsi.
Kemudian, pendekatan organisasi tentang korupsi melihat bahwa pelanggaran norma sudah merupakan bagian dari proses berjalannya organisasi. Para anggota dalam organisasi justru mendapat semacam balasan positif dengan ikut melakukan pelanggaran, setidaknya dianggap melakukan sesuatu dengan cara yang “seharusnya”. Jika tidak mengikuti tata cara itu – yang bisa berupa aturan formal, informal, atau gabungan keduanya – anggota akan mendapat reaksi negatif. Ini juga yang saya lihat dalam pembuatan KTP. Warga kelurahan Tugu Selatan sudah menjadi rahasia umum dalam pembuatan KTP “harus” memberikan uang pelicin agar bisa diproses dengan cepat. Bagi keluarga yang tidak membayar akan mendapatkan respon negatif dari petugas dan juga warga lain akan memberikan masukan untuk membayar dalam pembuatan KTP.
Dalam perspektif kultural, bisa menguatkan analisis dimana masyarakat memiliki tindakan yang sebenarnya negatif, tetapi menjadi kebiasaan dan rahasia umum untuk membayar pembuatan KTP sebesar Rp20ribu. Makna pemberian bagi masyarakat merupakan bentuk terima kasih karena petugas bisa mengerjakan pembuatan KTP dengan cepat.  Pemberiaan yang menjadi kebiasaan ini tidak membuat masyarakat mengeluhkan kinerja petugas, malah dikhawatirkan membudaya dan mengakar. Padahal pemberian kepada petugas menjadikan dirinya meneruskan budaya tersebut dan tidak bisa dihilangkan dalam jangka panjang. Ini yang menjadi makna bagi masyarakat yang memperbolehkan tindakan petugas KTP meminta bayaran pembuatan KTP. Dari pemaknaan masyarakat yang seperti itu membuat petugas kelurahan Tugu Selatan terus melakukan hal yang dalam menyalahgunaan posisinya untuk memperkaya dirinya dan orang didekatnya.

Sumber referensi:
Buku Sosiologi Korupsi: Rekonstruksi Pendekatan Organisational Instiutionalis, Meuthia Ganie-Rochman dan Rochman Achwan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar