Liputan6.com,
Jakarta - Mantan Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem menjadi saksi sidang kasus dugaan
suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan terdakwa
Akil Mochtar. Dalam kesaksiannya, Alex mengakui berteman dekat dengan Akil
karena pernah sama-sama menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Alex juga
menjelaskan, karena kedekatan itu dirinya kemudian berkomunikasi dengan Akil
ketika menjadi Ketua MK. Dalam komunikasi itu, Alex menanyakan perihal
pilkada-pilkada di Provinsi Papua yang digugat ke MK.
"Ada 29 kota, begitu selesai
(pilkada) semua berujung di MK. Karena Pak Akil teman dekat, saya cek
penyelesaiannya. Sebagai Wakil Gubernur, saya cek pilkada yang berujung di MK
supaya tidak terjadi kekosongan kepemimpinan," kata Alex di Pengadilan
Negeri Tipikor, Jakarta, Kamis (3/4/2014).
Akil sendiri didakwa menerima hadiah
atau janji terkait belasan pengurusan sengketa pilkada di MK. Di antaranya
pengurusan sejumlah sengketa pilkada di Provinsi Papua.
Dalam dakwaan, Akil disebut menerima uang sebanyak Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode 2006-2011, Alex Hesegem. Uang itu merupakan kompensasi karena Alex berkonsultasi kepada Akil soal Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven Digoel yang bersengketa di MK. (Raden Trimutia Hatta)
Dalam dakwaan, Akil disebut menerima uang sebanyak Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode 2006-2011, Alex Hesegem. Uang itu merupakan kompensasi karena Alex berkonsultasi kepada Akil soal Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven Digoel yang bersengketa di MK. (Raden Trimutia Hatta)
Liputan6.com,
Jakarta - Bupati Buton, Sulawesi Tenggara Samsu Umar Badul
Samiun menjadi saksi untuk terdakwa Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap
pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kesaksiannya,
Samsu mengaku 'dipalak' oleh Akil yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua
MK.
Saat
itu, pasangan Samsu-La Bakry bersama pasangan lainnya menggugat hasil Pilkada
Buton 2011 yang dimenangkan pasangan Agus Feisal Hidayat dan Ya Udu Salam Ajo.
MK dalam putusannya kemudian membatalkan SK penetapan KPUD Kabupaten Buton
terhadap kemenangan Agus Feisal-Ya Udu. Panel hakim perkara ini yang diketuai M
Akil Mochtar dengan anggota Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva dalam amar
putusannya memerintahkan KPUD Buton untuk melakukan tahapan pemungutan dan
penghitungan suara ulang.
MK
pada kemudian memutus mengukuhkan pasangan Samsu-Ya Udu sebagai Bupati dan
Wakil Bupati terpilih usai pemungutan dan penghitungan suara ulang itu.
"Tapi keterangan dari Pak Arbab yang dapat informasi dari Pak Anwar, bahwa
kemenangannya itu akan dianulir MK. Yang akan menganulir itu Pak Akil,"
kata Samsu saat bersaksi di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Kamis
(3/4/2014).
"Pak Arbab bilang
Pak Akil minta Rp 6 miliar untuk tidak dianulir. Waktu itu saya pikir
kemenangan saya terancam. Saya tertekan sekaligus dongkol juga, padahal MK
memenangkan saya sesuai fakta persidangan. Tapi saya merasa tertekan (soal Rp 6
miliar)," ujarnya.
Sumber: http://news.liputan6.com/read/2032003/jadi-saksi-sidang-bupati-buton-ngaku-dipalak-akil-rp-6-m
Liputan6.com,
Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Chairun Nisa,
terdakwa kasus dugaan suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan
Tengah. Politisi Partai Golkar itu dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan menjadi perantara pemberian suap sebesar Rp 3 miliar dari Calon
Bupati Gunung Mas Hambit Bintih kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil
Mochtar.
"Menjatuhkan
putusan terhadap terdakwa Chairun Nisa dengan pidana penjara selama 4 tahun
dikurangi masa tahanan yang sudah dijalankan," ujar Ketua Majelis Hakim
Suwidya saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis
(27/3/2014).
Mantan
anggota Komisi II DPR ini terbukti bersalah sebagaimana dakwaan alternatif ke
dua. Yakni Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20
Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pada
perspektif sosiologis, tokoh terkenal sosiologi dari Asia, dan pemikir Alatas
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan
pribadi (Alatas, 1990). Kepercayaan yang disalahgunaan dalam korupsi diletakkan
dalam konteks pemisahan barang publik
dan barang privat. Terdapat tiga bentuk korupsi menurut Alatas yaitu pemerasan,
nepotisme, dan penyogokan. Bentuk korupsi yang dibicarakan berkaitan dengan wewenang
dalam mengelola barang publik. Karena adanya relativisme dalam pengertian
norma, Alatas mendefinisikan korupsi berdasarkan substansi hubungan sosial
yaitu penyalahgunaan kepercayaan; Alatas
memandang persoalan korupsi sebagai persoalan relasi kekuasaan dan hal
ini harus dipahami menurut konteks dimana terjadinya korupsi. Dalam sudut
pandang pelaku korupsi yakni Akil Mochtar, ia melakukan penyogokan kepada
orang-orang yang ia kenal dalam memenangkan kasus sengketa pemilihan kepada
daerah. Karena posisi MK salah satunya tugasnya menyelesaikan sengketa pilkada,
hal ini dimanfaatkan oleh Akil Muchtar untuk menyahgunaan kepercayaan rakyat
dan institusi kehakiman untuk memperkaya/menguntungkan dirinya.
Jaringan merupakan
konsep sosiologis yang mulai muncul dalam analisa korupsi. Jaringan adalah
suatu terhubungnya sejumlah orang atau organisasi dalam mencapai tujuan
tertentu dimana masing-masing mempunyai kedudukan dan peran. Sebagai ketua MK,
Akil Muchtar memiliki jaringan kepada
orang-orang partai yang secara demokratis mengikuti pemilihan kepada daerah.
Akses inilah yang dirinya lakukan untuk berani melakukan korupsi dengan meminta
uang kepada orang yang bersengketa pilkada. Ia meminta Rp6 milyar untuk pilkada
Buton, beberapa tempat pilkada, dan pulsa sebesar Rp125 juta. Institusi
kehakiman yang diharapkan menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dan tanpa
pandang bulu dalam memberantas korupsi, ternyata belum bisa bersih seratus
persen dibuktikan dengan skandal korupsi ketua Mahkamah Konstitusi.
Dari segi lingkup dalam perspektif legal, terdapat
dua macam korupsi oleh pejabat negara yaitu korupsi dalam organisasi pemerintah
yaitu korupsi
oleh pejabat publik yang tekanannya pada pemanfaatan posisi aktor dan
korupsi terhadap organisasi publik yang tekanannya pada akibat pada organisasi
pejabat. Posisi aktor Akil Mochtar selaku ketua MK sekaligus pejabat negara
melakukan korupsi dalam pemanfaatan posisi di Mahkamah Konstitusi yang sangat
strategis dalam mengambil keputusan sengketa pemilihan kepada daerah.
Sumber referensi:
Buku
Sosiologi Korupsi: Rekonstruksi Pendekatan Organisational Instiutionalis,
Meuthia Ganie-Rochman dan Rochman Achwan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar