Cari Blog Ini

Minggu, 11 Mei 2014

Analisa Kasus Akil Mochtar (Mantan Ketua MK)



Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem menjadi saksi sidang kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan terdakwa Akil Mochtar. Dalam kesaksiannya, Alex mengakui berteman dekat dengan Akil karena pernah sama-sama menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Alex juga menjelaskan, karena kedekatan itu dirinya kemudian berkomunikasi dengan Akil ketika menjadi Ketua MK. Dalam komunikasi itu, Alex menanyakan perihal pilkada-pilkada di Provinsi Papua yang digugat ke MK.
"Ada 29 kota, begitu selesai (pilkada) semua berujung di MK. Karena Pak Akil teman dekat, saya cek penyelesaiannya. Sebagai Wakil Gubernur, saya cek pilkada yang berujung di MK supaya tidak terjadi kekosongan kepemimpinan," kata Alex di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Kamis (3/4/2014).
Akil sendiri didakwa menerima hadiah atau janji terkait belasan pengurusan sengketa pilkada di MK. Di antaranya pengurusan sejumlah sengketa pilkada di Provinsi Papua.

Dalam dakwaan, Akil disebut menerima uang sebanyak Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode 2006-2011, Alex Hesegem. Uang itu merupakan kompensasi karena Alex berkonsultasi kepada Akil soal Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven Digoel yang bersengketa di MK. (Raden Trimutia Hatta)

Liputan6.com, Jakarta - Bupati Buton, Sulawesi Tenggara Samsu Umar Badul Samiun menjadi saksi untuk terdakwa Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kesaksiannya, Samsu mengaku 'dipalak' oleh Akil yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua MK.
Saat itu, pasangan Samsu-La Bakry bersama pasangan lainnya menggugat hasil Pilkada Buton 2011 yang dimenangkan pasangan Agus Feisal Hidayat dan Ya Udu Salam Ajo. MK dalam putusannya kemudian membatalkan SK penetapan KPUD Kabupaten Buton terhadap kemenangan Agus Feisal-Ya Udu. Panel hakim perkara ini yang diketuai M Akil Mochtar dengan anggota Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva dalam amar putusannya memerintahkan KPUD Buton untuk melakukan tahapan pemungutan dan penghitungan suara ulang.
MK pada kemudian memutus mengukuhkan pasangan Samsu-Ya Udu sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih usai pemungutan dan penghitungan suara ulang itu. "Tapi keterangan dari Pak Arbab yang dapat informasi dari Pak Anwar, bahwa kemenangannya itu akan dianulir MK. Yang akan menganulir itu Pak Akil," kata Samsu saat bersaksi di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Kamis (3/4/2014).
"Pak Arbab bilang Pak Akil minta Rp 6 miliar untuk tidak dianulir. Waktu itu saya pikir kemenangan saya terancam. Saya tertekan sekaligus dongkol juga, padahal MK memenangkan saya sesuai fakta persidangan. Tapi saya merasa tertekan (soal Rp 6 miliar)," ujarnya.

Liputan6.com, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Chairun Nisa, terdakwa kasus dugaan suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Politisi Partai Golkar itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menjadi perantara pemberian suap sebesar Rp 3 miliar dari Calon Bupati Gunung Mas Hambit Bintih kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
"Menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Chairun Nisa dengan pidana penjara selama 4 tahun dikurangi masa tahanan yang sudah dijalankan," ujar Ketua Majelis Hakim Suwidya saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/3/2014).
Mantan anggota Komisi II DPR ini terbukti bersalah sebagaimana dakwaan alternatif ke dua. Yakni Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pada perspektif sosiologis, tokoh terkenal sosiologi dari Asia, dan pemikir Alatas mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi (Alatas, 1990). Kepercayaan yang disalahgunaan dalam korupsi diletakkan dalam konteks  pemisahan barang publik dan barang privat. Terdapat tiga bentuk korupsi menurut Alatas yaitu pemerasan, nepotisme, dan penyogokan. Bentuk korupsi yang dibicarakan berkaitan dengan wewenang dalam mengelola barang publik. Karena adanya relativisme dalam pengertian norma, Alatas mendefinisikan korupsi berdasarkan substansi hubungan sosial yaitu penyalahgunaan kepercayaan;  Alatas memandang persoalan korupsi sebagai persoalan relasi kekuasaan dan hal ini harus dipahami menurut konteks dimana terjadinya korupsi. Dalam sudut pandang pelaku korupsi yakni Akil Mochtar, ia melakukan penyogokan kepada orang-orang yang ia kenal dalam memenangkan kasus sengketa pemilihan kepada daerah. Karena posisi MK salah satunya tugasnya menyelesaikan sengketa pilkada, hal ini dimanfaatkan oleh Akil Muchtar untuk menyahgunaan kepercayaan rakyat dan institusi kehakiman untuk memperkaya/menguntungkan dirinya.
Jaringan merupakan konsep sosiologis yang mulai muncul dalam analisa korupsi. Jaringan adalah suatu terhubungnya sejumlah orang atau organisasi dalam mencapai tujuan tertentu dimana masing-masing mempunyai kedudukan dan peran. Sebagai ketua MK, Akil Muchtar  memiliki jaringan kepada orang-orang partai yang secara demokratis mengikuti pemilihan kepada daerah. Akses inilah yang dirinya lakukan untuk berani melakukan korupsi dengan meminta uang kepada orang yang bersengketa pilkada. Ia meminta Rp6 milyar untuk pilkada Buton, beberapa tempat pilkada, dan pulsa sebesar Rp125 juta. Institusi kehakiman yang diharapkan menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dan tanpa pandang bulu dalam memberantas korupsi, ternyata belum bisa bersih seratus persen dibuktikan dengan skandal korupsi ketua Mahkamah Konstitusi.
Dari segi lingkup dalam perspektif legal, terdapat dua macam korupsi oleh pejabat negara yaitu korupsi dalam organisasi pemerintah yaitu korupsi oleh pejabat publik yang tekanannya pada pemanfaatan posisi aktor dan korupsi terhadap organisasi publik yang tekanannya pada akibat pada organisasi pejabat. Posisi aktor Akil Mochtar selaku ketua MK sekaligus pejabat negara melakukan korupsi dalam pemanfaatan posisi di Mahkamah Konstitusi yang sangat strategis dalam mengambil keputusan sengketa pemilihan kepada daerah.


Sumber referensi:

Buku Sosiologi Korupsi: Rekonstruksi Pendekatan Organisational Instiutionalis, Meuthia Ganie-Rochman dan Rochman Achwan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar